Foto: Pradita Utama |
Jakarta - Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang direncanakan
berlaku 1 Juli 2020 mendatang untuk kelas I dan II mendapat kritikan. Hal itu
lantaran diberlakukan saat krisis pandemi virus Corona (COVID-19).
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai
kebijakan itu akan semakin memberatkan rakyat. Di tengah pandemi ini pekerja
informal sangat sulit kondisi ekonominya, tapi pemerintah malah menaikkan iuran
BPJS Kesehatan.
"Per 1 Juli 2020 ini kelas I naik lagi jadi 150.000 per
orang per bulan. Kelas II jadi 100.000. Kelas III di subsidi Rp 16.500 dan di 1
Januari 2021 naik jadi Rp 35.000 sehingga pemerintah hanya subsidi Rp 7.000.
Rakyat sudah susah malah disusahin lagi," kata Timboel melalui keterangan
resmi yang dikutip detikcom, Rabu (13/5/2020).
Di kondisi seperti ini harusnya pemerintah menjaga daya beli
masyarakat bukan semakin membuatnya jatuh dengan menaikkan iuran ini.
Pemerintah dinilai sudah kehabisan akal sehingga dengan seenaknya menaikkan
iuran tanpa melihat kondisi.
"Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan
seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat.
Padahal di pasal 38 di Pepres ini menyatakan kenaikan iuran harus
mempertimbangkan kemampuan masyarakat," ucapnya.
Belum lagi layanan BPJS Kesehatan yang malah menurun selama
masa COVID-19. Banyak kasus yang ia temui jika peserta tidak mendapatkan
haknya, padahal harusnya ada perbaikan layanan sebelum iuran dinaikkan.
"Contoh yang banyak terjadi dan menjadi persoalan saat
ini, seorang pasien JKN ketika harus dirawat inap harus melakukan test COVID-19
dan pasien diminta bayar Rp 750.000 untuk test COVID-19 tersebut. Padahal jelas
di pasal 86 Perpres 82 tahun 2018 pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi.
Ada pasien JKN yang karena tidak mampu bayar Rp 750.000 jadi pulang yang
seharusnya dirawat di RS, si pasien meninggal di rumah," ungkapnya.
Sumber: Detik.com