Manila - Aktivis Hak Asasi Manusia di Filipina
mengkhawatirkan tren muram meningkatnya penyebaran konten pornografi anak
secara online di tengah wabah corona. Mereka mewanti-wanti penutupan sekolah
dan larangan keluar rumah menjauhkan anak-anak dari guru atau masyarakat
sehingga menyulitkan deteksi dini penganiayaan.
"Situasi ekonomi yang memburuk bisa mendorong orang
dewasa menjajakan anak-anaknya secara online kepada predator seks," kata
Aissa Ereneta, Direktur Dana Bantuan Anak, ChildFund Philippines.
Menurut unit kejahatan siber di Kementerian Kehakiman
Filipina, angka kasus eksploitasi seksual terhadap anak-anak di dunia maya
terutama mencuat di Pulau Luzon sejak 1 Maret hingga 24 Mei, ketika larangan
keluar rumah masih diberlakukan.
Data Pusat Pengaduan untuk Kekerasan Anak mencatat 279.000
kasus aduan dalam periode tersebut, atau naik 265% dalam jumlah kasus tahunan.
Penyalahgunaan Teknologi
Ponsel dan akses internet mempermudah siapa pun untuk
menjual konten seksual di internet. Adapun pembayaran melalui layanan
pengiriman uang tunai internasional membuat pelaku sulit dilacak.
Salah satu perkara adalah keengganan penyedia jasa
telekomunikasi untuk memblokir konten seksual anak-anak. Tidak jarang kasus
eksploitasi seksual diadukan oleh kepolisian asing yang melacak jejak pelaku ke
Filipina.
"Sangat disayangkan bahwa 11 tahun setelah adanya
undang-undang yang melarang pornografi anak, penyedia jasa internet masih tidak
mau menggunakan teknologi filter. Tanpanya, tren mengeksploitasi anak akan
terus berlanjut," kata pejabat Kementerian Kehakiman, Mark Perete.
Sumber pornografi anak
Sebuah studi oleh International Justice Mission (IJM)
mengungkap kasus eksploitasi seksual anak-anak di internet meningkat 250%, dari
23.000 menjadi 81.000 antara 2014 dan 2017. Angka tersebut memastikan reputasi
gelap Filipina sebagai salah satu negara produsen konten pornografi anak terbesar
di dunia.
Menurut laporan IJM, rata-rata korban berusia 11 tahun.
Korban paling mudah bahkan tercatat berusia di bawah satu tahun. Sebanyak 62%
tindak eksploitasi difasilitasi oleh orang tua atau salah seorang anggota
keluarga, dan bahkan tetangga.
"Eksploitasi seksual anak-anak secara online adalah
bentuk paling kejam dari eksploitasi seksual. Kejahatan ini melibatkan
anak-anak berusia sangat muda yang kebanyakan adalah anak perempuan. Trauma
fisik sangat kentara dan mudah disembuhkan, tapi trauma psikologis bisa
bertahan berbulan atau bahkan bertahun-tahun," kata Evelyn Pingul,
Direktur Eksekutif IJM.
Rabu (27/05), sebuah pengadilan di Filipina memvonis warga
negara Amerika Serikat dengan hukuman kurung seumur hidup, usai kedapatan
memproduksi video dan foto porno anak-anak untuk dijual ke luar negeri. Pelaku
baru ditangkap usai identitasnya dibocorkan Biro Investigasi Federal Amerika
Serikat.
Sumber: Detik.com