Pekanbaru - Manajemen PT Siberida Subur perusahaan
perkebunan yang berlokasi di Indragiri Hulu dipanggil Komisi II DPRD Riau.
Pemanggilan ini atas dasar adanya aduan dari kelompok tani
Talang Mamak yang melaporkan adanya perkebunan di dalam kawasan hutan yang
diduga dikelola PT Siberida Subur.
Rapat tersebut juga dihadiri oleh Kepala Dinas Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Riau Maamun Murod, Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Inhu, Mangapul Panggabean, Head Legal PT Siberida Subur Leo, dan
kelompok tani Talang Mamak.
Ketua Komisi II DPRD Riau Robin P Hutagalung, mengatakan
bahwa pihaknya menerima berkas dari kelompok tani dan bisa dikatakan bahwa
benar PT Siberida Subur mengelola kebun dalam kawasan hutan.
"Benar ternyata terungkap hari ini, mereka mengelola
kebun itu dalam kawasan hutan. Kalau di data yang kita dapat seribu sekian
hektare. Pengakuan mereka seribu hektare. Tapi jelas dari kawasan hutan
semuanya, itu kan dilarang," kata Robin, Senin (20/7/2020).
Robin mengatakan, bahwa hal ini tentu merupakan kerugian
negara. Kemudian berdasarkan rapat tersebut, komisi II akan rapat secara khusus
dengan Dinas Perkebunan Provinsi dan LHK, dan mengudang BPN.
"Rapat kedepan itu merumuskan poin-poin penting dari
fakta yang terungkap. Yang jelas hari ini kita sudah terang benderang. Mereka
ini lucu, katanya mereka tak perlu ngurus HGU, cuma izin lokasi saja, HGU kata
mereka hanya perlu untuk mengurus kalau mau kredit. Tentu ini perlu keseriusan
pemerintah. Kita minta gubernur ambil langkah langkah," ungkapnya lagi.
Dari pantauan di lokasi, sempat terjadi tensi panas yang
dilontarkan kepala BPN Inhu, Mangapul Panggabean. Ia meminta agar perusahaan
untuk menghormati lembaga DPRD yang telah memanggil PT Siberida Subur dan
meminta pihak perusahaan untuk menjawab secara sopan bukan menantang.
"Saya berharap tadi dewan yang keras. Kalau saya keras
saja. Anda tadi bilang seribu hektar yang baru dikelola. Kita akan cek
langsung. Apa benar seribu hektar atau lebih. Kita bisa cek. Jangan anda pikir
BPN ini cuma soal berkas -berkas saja," tegasnya.
Sementara, Head Legal PT Siberida Subur, Leo mengatakan,
bahwa pihaknya sudah bekerja dengan dasar izin lokasi, izin usaha perkebunan,
dan izin kelayakan lingkungan yang sudah diberikan bupati Inhu, dengan nomor 92
tahun 2007. Usaha perkebunan nomor 89 tahun 2007, dan kelayakan lingkungan
nomor 5 tahun 2008.
"Menurut kami dengan izin ini sudah bisa mengelola
kebun, karena di sini ada perintah dari bupati untuk kita kelola
perkebunan," ungkapnya.
Disinggung mengenai DPRD Riau yang mempermasalahkan Hak Guna
Usaha yang belum dimiliki PT Siberida Subur, menurut Leo adalah mengenai titel
hak.
"Yang dipermasalahkan teman-teman di dewan adalah titel
hak. Titel hak kami sampai saat ini belum dapat, tapi secara perizinan
pengelolaan kita sudah dapat. Hak Guna Usaha itu kan hak atas tanah, kalau mau
melakukan usaha itu perlu izin, izin usaha perkebunan, dan itu kita sudah
dapat," tukasnya.
Lebih lanjut, Leo mengatakan bahwa usaha yang diberikan
kepada PT Siberida Subur cukup besar yakni 6.312 hektar. Dan sudah terkelola
1.000 hektare lebih.
"Jadi kami sudah punya izin," kata Leo lagi.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Riau, Manahara
Napitulu mengatakan, bahwa izin yang dimaksud oleh head legas PT Siberida
tersebut adalah Izin lingkungan (IL) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP).
"Setelah kita menelaah, mendengar pihak terkait yang
berkompeten, serta dihubungkan dengan regulasi yang ada, bahwa izin lokasi itu
kan masih harus ditindaklanjuti. Nah izin lokasi yang diterima mereka tahun
2007 itu harus ditindaklanjuti sebagai pelepasan kawasan. Karena itu masuk
dalam Hutan Produksi Terbatas (HPT) maka harus ada lahan pengganti, supaya
statusnya bisa diturunkan menjadi Hutan Produksi Konversi (HPK), setelah HPK
baru bisa dimohonkan jadi pelepasan kawasan," cakapnya lagi.
"Apa yang dikatakan head legal itu buat kita ketawa.
Mereka bilang tak mungkin diterbitkan IL dan IUP kalau itu kawasan hutan.
Mereka tak paham regulasi, miris kita. Karena yang benar itu, kalau dia HPT
diturunkan statusnya jadi HPK, kalau sudah HPK diajukan permohonannya kepada
Menteri Kehutanan, ada jenjangnya, diterbitkan dulu izin prinsip. Setelah
mendapatkan izin prinsip barulah bisa beraktifitas di lapangan, itupun baru
sekedar infrastruktur karyawan dan bibitan. Belum bisa buka semuanya. Tapi
mereka yang dilakukan belum punya hak untuk itu sudah action di sana, karena
pemahamannya seperti itu, ketika mereka memiliki uang, mereka bisa lakukan
semua," tegas Manahara.