PEKANBARU - Laporan penelitian internasional ‘Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia’ (POCAJI) menemukan fakta konflik kelapa sawit di Riau jarang yang terselesaikan. Karena itu, direkomendasikan perlunya dibentuk lembaga penyelesaian konflik kelapa sawit di Riau.
Pasalnya, terbukti sekitar 67% dari 48 konflik yang diteliti, masyarakat tidak berhasil sama sekali mendapatkan penyelesaian atas keluhan mereka. Ketika konflik berhasil diselesaikan, prosesnya sangat lama rata-rata selama 13 tahun.
Demikian terungkap dalam Webinar Launching Policy Brief Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit di Riau dan evaluasi terhadap berbagai mekanisme resolusi konflik di Pekanbaru, Selasa (1/12). Pembahasan kebijakan dan penelitian bersama peneliti Pocaji Profesor Ward Berenschot, Anggie Kumala Sari, Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution, Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung, Kepala Dinas Perkebunan Riau Zulfadli, Pakar Konflik Universitas Indonesia (UI) Suraya Afif, dan Ketua Gapki Riau Lichwan Hartono.
"Sekarang tidak ada mekanisme penyelesaian konflik. Sekarang kita terbiasa konflik itu berjalan 15 tahun. Itulah solusi bahwa perlunya suatu lembaga komprehensif untuk menyelesaikan konflik kelapa sawit ini," kata Profesor Ward Berenschot.
Ia menjelaskan, salah satu alasan penting dari banyaknya konflik yang belum terselesaikan ini adalah karena pihak berwenang di tingkat lokal sering kali kurang berhasil dalam memfasilitasi proses penyelesaian konflik antara perusahaan dan masyarakat. Meskipun upaya fasilitasi dan mediasi sering dilakukan di Riau sekitar 60% dari semua kasus, dari 39 upaya fasilitasi oleh pemerintah daerah, anggota DPRD, dan polisi untuk menengahi konflik, hanya 5 kasus di mana kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat tercapai dan diimplementasikan.
Ia menambahkan, dari penelitian juga ditemukan alasan lain mengapa banyak konflik belum terselesaikan adalah sulitnya masyarakat mengakses mekanisme resolusi konflik formal seperti pengadilan dan fasilitas penyelesaian sengketa RSPO. Mekanisme tersebut jarang digunakan seperti di Riau, hanya 12 kasus yang dibawa ke pengadilan dan 2 kasus ke RSPO, karena kombinasi beberapa faktor seperti kendala hukum, biaya, kekurangpercayaan, dan kerumitan prosedur membuat masyarakat enggan menggunakan mekanisme ini. Selain itu, ketika masyarakat menang di pengadilan, hanya di 4 kasus, putusan pengadilan sering kali tidak diimplementasikan.
"Sebaliknya, studi kami menunjukkan bahwa mediator profesional dan LSM dengan kapasitas yang terlatih untuk memediasi konflik, jauh lebih lebih efektif dalam memfasilitasi penyelesaian konflik kelapa sawit," terangnya.
Peneliti Anggie Kumala Sari mengatakan penelitian ini merupakan hasil kolaborasi skala besar antara Universitas Andalas, KITLV Leiden, Universitas Wageningen serta enam LSM Indonesia yaitu Epistema Institute, HuMa, Lembaga Gemawan, Scale Up, Walhi Sumatra Barat dan Walhi Kalimantan Tengah. Penelitian dikoordinasi oleh Prof. Afrizal (Universitas Andalas), Prof. Ward Berenschot, Dr. Ahmad Dhiaulhaq (keduanya dari KITLV Leiden), dan Prof. Otto Hospes (Universitas Wageningen).
"Didukung oleh organisasi-organisasi ini, tim yang terdiri dari total 19 peneliti mempelajari 150 kasus konflik di empat provinsi di Indonesia yakni Riau, Sumatra Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Sedangkan laporannya berfokus pada 48 kasus konflik di Riau," jelasnya.
Menurutnya, konflik kelapa sawit umumnya bersumber dari rasa ketidakadilan terkait bagaimana perusahaan mendapatkan lahan dan bagaimana manfaat dari penggunaan lahan tersebut dibagikan. Masyarakat umumnya menyuarakan keluhan mereka secara damai, melalui demonstrasi dan audiensi dengan pihak berwenang di tingkat lokal.
"Namun kami menemukan sebuah kecenderungan yang mengkhawatirkan yaitu para pemimpin protes sering kali dikriminalisasi oleh polisi dan manajemen perusahaan. Terjadi penangkapan anggota masyarakat di 54% konflik yang diteliti di Riau, mencakup 233 kali penangkapan. Konflik ini menyebabkan 56 orang terluka dan 12 orang meninggal dunia," ujarnya.
Sementara Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution mengatakan pemerintah daerah tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik. Namun dari hasil penelitian dan diskusi diketahui banyak informasi dari berbagai pihak tentang bagaimana menyelesaikan konflik lahan pada masa depan.
"Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dan pemerintah daerah tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik. Namun dari penelitian dan diskusi ini kita bisa mengetahui lebih banyak informasi untuk menyelesaikannya," pungkas Edy.
Sementara Pakar Konflik Universitas Indonesia Suraya Afif menawarkan solusi menyelesaikan konflik kelapa sawit di Riau dengan pendirian lembaga khusus untuk menyelesaikan konflik tersebut.
"Saya sepakat tentang perlunya lembaga penyelesaian konflik lahan di Riau," tegasnya.
Sesuai hasil penelitian, untuk meningkatkan mekanisme penyelesaian konflik direkomendasikan perlu dibentuk lembaga mediasi atau desk resolusi konflik di tingkat provinsi atau kabupaten. Selain itu, meningkatkan kapasitas pihak berwenang di tingkat lokal dalam menyelesaikan konflik secara baik. Kemudian pemerintah lokal agar bisa menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang tidak kooperatif dalam penyelesaian konflik. Dan perlu penegakan hukum yang lebih profesional dan terhindar dari tekanan informal dari aktor bisnis.***